“Kemarin liburan sudah mampir ke rumah wetan belum?” Tanya ibuku.
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Dia selalu menanyakan kabarmu di telepon, To.”
“Iya, Bu. Bulan depan ya? Aku habis ini mau kembali ke Madiun. Besok aku sudah mulai kerja lagi.”
“Kalau sabtu minggu libur, sempatkan berkunjung kesana.”
Aku hanya tersenyum. Ibu menggelengkan kepala dan pergi ke dapur. Ku pegang ponselku, menggeser layar dengan jempol, mencari tiket kereta online. “Madiun atau Blitar?” gumamku dalam hati menentukan tujuan.
***
Wanita paruh baya itu duduk di sebelahku. Dia mengelus kepalaku. Aku hanya bisa tengkurap di tempat tidur. Menangis di atas bantal. Sudah tujuh hari aku tinggal disini. Selama itu juga bapak dan ibu tidak menjemputku. Aku selalu bertanya padanya dimana mereka, tapi ia selalu menjawab, “Bapak dan ibumu masih kerja, Le.” Dan kalimat itu yang mengantarkan anak kecil berumur 3 tahun tidur di setiap malam.
Namaku Pram. Sudah satu tahun aku tinggal bersama nenek. Satu tahun pula aku telah beradaptasi dan bersekolah disini. Aku bersekolah di TK Dharma Wanita di desaku. Hari itu ketika aku pulang sekolah, Nenek menjemputku di depan gerbang. Membawakan es wawan kesukaanku. Dia memotongnya menjadi dua, untuk kita makan bersama di perjalanan pulang. Dalam perjalanan, dia bercerita tentang masakannya yang seolah akan membuatku lahap untuk memakannya. Mungkin nenek tidak punya teman cerita. Kami hanya tinggal berdua di rumah warisan kakek buyut yang berdiri sejak jaman penjajahan Jepang. Berada di desa terpencil di kabupaten Blitar. Anak-anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing, termasuk bapak. Nenek pernah bercerita jika kakek sudah lama meninggal. Ketika itu aku masih berumur 3 bulan. Saat itu ramai di beritakan jika dunia akan kiamat pada tanggal 9 bulan 9 tahun 1999. Namun ketika hari itu, bukan dunia yang mengalaminya, tapi hanya kakek saja.
Nenek selalu mengantarku sampai tepat di depan masjid. Tak jarang ia menyapa Pak Mariono, guru mengajiku. Ku cium tangannya sebelum masuk ke dalam masjid. Dia mengelus kepalaku pelan sambil berkata, “Ngaji yang benar ya, Le. Doakan semoga Bapak dan Ibumu cepat pulang.” Kalimat itu terdengar sayu di telingaku dan entah mengapa kembali mengingatkanku pada mereka. Aku berusaha bertanya, tapi air mataku mendahuluinya. Dia mengusap air mataku dengan lembut, kemudian pergi.
***
Sejak umur 3 tahun aku tinggal bersama nenek. Dan saat ini umurku sudah 12 tahun. Ia bercerita ketika aku berumur 5 tahun, aku masih sering mengompol. Ia juga selalu mencucikan celana dalam bekas ngompolku. Seringkali aku tersenyum ketika mengingatnya. Ia juga bercerita ketika aku bermain layang-layang di tengah sawah dan pantatku robek terkena potongan pohon tebu, ia yang mengobatinya. Bahkan ia pernah bercerita ketika aku ingin di ajari naik sepeda, ia bergegas membelikanku sepeda di toko yang lokasinya sangat jauh dari rumah. Suatu hari nenek menjelaskan alasan orangtuaku jarang pulang. Saat itu orangtuaku sedang bekerja agar kelak kehidupan kami tidak sulit. Nenek bilang jika orangtuaku tidak tega melihatku hanya makan makanan seadanya. Tapi kenyataannya, nenek mengajarkanku agar tetap makan meskipun dengan nasi garam. “Biar kamu tidak menyusahkan bapak dan ibumu nanti ya, Le.”
Hari-hariku penuh dengan belajar dan belajar. Nenek yang juga seorang pensiunan guru sekolah dasar dengan tulus mengajariku. Mata pelajaran matematika, PPKn, sampai dengan IPA ia ajarkan padaku. Dua bulan ke depan aku akan melaksanakan Ujian Nasional tingkat Sekolah Dasar. Ibu pernah berkata jika setelah lulus dari sekolah dasar, aku akan di ajak pulang ke Jakarta, kota tempat ibu dan bapak tinggal.
Di suatu Senin di awal bulan Maret, nenek mengantarku berangkat sekolah. Kenapa nenek tidak seperti biasanya? Begitu tiba di depan gerbang, aku mencium tangannya dan berkata, “Hati-hati di jalan, Mbah.” Dia hanya tersenyum. Membuatku semakin khawatir. Sepulang sekolah, seperti biasanya, aku langsung menuju ruang makan. Tapi ruang makan sangat sepi. Nenek yang setiap pulang sekolah selalu menungguku di ruang makan, sekarang tidak ada. Aku mencarinya di rumah tetangga. Mereka bilang tidak ada. Tapi ada salah satu yang bilang jika nenek sedang berada di kebun. Sontak aku langsung berlari ke kebun. Ada! Aku melihat nenek sedang duduk di bawah pohon bambu bersisikan sungai. Aku duduk di sebelahnya. Dia hanya menoleh dan tersenyum. Semilir angin berhembus pelan, mengingatkanku dengan apa yang disampaikan ibu. Sudah sangat lama aku memendam rindu pada orangtuaku. Namun rasa ingin tinggal bersama nenek tidak kalah besarnya. Aku menghela napas panjang. Akan ku sampaikan keinginanku.
“Mbah, kalau aku sudah lulus nanti, apa aku boleh tinggal di rumah Bapak dan Ibu?”
“Kenapa kamu bilang begitu, Le?” Ia tersenyum sekilas lalu melempar pandangannya jauh ke dasar sungai. “Tentu saja kamu harus kesana.”
Nenek kembali menolehku dan menatap dalam, “Jangan lupa kunjungi Simbah ya, Le.” Kalimat yang menohok bagiku. Selama ini aku selalu menghabiskan hari-hari bersama nenek. Ia menjadi seorang yang selalu ada ketika kubutuhkan. Ketika aku sakit, bahagia, sedih, dan cemas ia selalu ada untukku. Aku berusaha tersenyum namun nenek lantas memelukku erat. Badannya yang kurus menjadi seperti kayu, kaku sekali. Hembusan napasnya terdengar berat. Aku tahu ini akan sangat berat bagi nenek. Namun aku tidak bisa mengelak dari permintaan orangtuaku. “Ayo kita kembali ke rumah.” Tutup nenek.
***
Ujian Nasional semakin dekat. Aku semakin giat belajar. Setiap hari aku tidur larut malam. Buku-buku berserakan di tempat tidurku. Ketika aku terbangun, seluruh buku sudah tertata rapi. Ah, nenek selalu begitu. Semakin mendekati Ujian Nasional justru bukan itu yang membuat perasaanku semakin gundah. Bagaimana jika nenek kenapa-kenapa? Apalagi nenek sudah semakin menua. Penyakit apapun bisa saja menyerangnya. Di suatu pagi di hari kamis, sebelum aku berangkat sekolah, aku mencari nenek untuk pamit berangkat sekolah. Kamar mandi terkunci. Ku ketuk pintu tiga kali dan nenek menjawab, “Iya, Le? Mau berangkat?” suaranya lirih dan sedikit mengerang. Tidak ada rasa curiga di awal. Tapi nenek tidak kunjung keluar dari kamar mandi. Lantas aku langsung berangkat.
Sepulang sekolah, seperti biasa aku menuju ruang makan. Lagi-lagi nenek tidak ada. Pintu kamar mandi di ujung ruang makan masih tertutup. Apa mungkin dari tadi pagi masih tertutup? Apakah nenek di dalam sana? Ku ketuk berkali-kali namun tak ada respon. Segera ku dobrak saja pintu itu, dan hasilnya berhasil! Nenek terduduk di lantai, bersandar di tembok tidak sadarkan diri. Kakinya membiru. Aku resah bukan main. Segera ku gendong nenek menuju kamar dengan tertatih-tatih dan berlari mengambil es batu di dalam kulkas. Tanganku mulai gemetar. Aku tak tahu harus berbuat apa. Ketika kembali ke kamar, nenek sudah bangun.
“Nenek tidak apa-apa…” katanya sambil memaksakan sedikit senyum yang justru membuatku semakin cemas. Aku memutuskan untuk izin dua hari tidak sekolah demi menjaga nenek. Ia menolak ketika ku ajak ke dokter, tukang pijit, maupun pengobatan tradisional. Ia hanya meminta es batu dan daun herbal sebagai obat.
***
Ujian Nasional baru saja ku selesaikan. Sesekali terbesit di pikiran akan nenek. Tapi ambisiku semakin besar, rinduku tidak bisa di tunda. Ini dia! Keinginan sedari kecil untuk bisa berkumpul bersama orangtua akan segera terwujud. Satu bulan setelah ujian nasional, aku melihat pengumuman yang tertempel di papan pengumuman sekolah. Ya! Aku lulus dan mendapat predikat siswa dengan nilai UN tertinggi di sekolah. Jika saja nenek ada di sini, ingin rasanya ku peluk erat tubuhnya. Aku bisa membayangkan betapa bahagianya nenek.
***
Ibu menggandeng tanganku dan menarikku masuk ke dalam mobil. Aku bisa melihat senyum ibu untuk pertama kalinya sejak 9 tahun yang lalu. Dari kaca spion mobil aku melihat nenek berdiri sendiri di sisi pintu rumah. Melambaikan tangannya padaku. Sesekali ia sedikit tersenyum dan menyeka air matanya. Tak ku rasa butiran bening di sudut mataku mengalir begitu saja. Aku teringat kalimat nenek di kebun saat itu. Ku seka air mata yang tak terasa mengalir Inilah detik terakhirku bisa melihat nenek. Setelah itu akan sangat jauh jarak untuk bisa melihat nenek.
“Simbah, tetap sehat ya.”
Contoh Cerpen Keluarga - Senjamu Bersamaku
Reviewed by dandy
on
Friday, April 12, 2019
Rating:
No comments: