Banyak kabel memenuhi dada
bapak. Suara alat pasien monitor mendeteksi kerja jantung bapak. Suara napasnya
yang sangat berat sesekali terdengar. Di sisi luar, aku melihat beberapa
perawat dan dokter berlalu lalang. Alarm ponselku berbunyi, menandakan waktu telah pagi. Aku segera mematikannya. Sudah
5 hari aku menjaga bapak yang dirawat di rumah sakit. Sesekali membasuh wajah
dan kepala bapak. Hanya itu. Rambut bapak yang sudah hilang akibat beberapa
operasi yang dijalaninya membuat jahitan bekas luka robek di dahinya terlihat
menonjol.
***
Aku mendengar suara knalpot motor
tua. Membuatku terbangun dan beranjak keluar kamar. Aku melihat asap mengepul
keluar dari garasi, memenuhi setiap ruangan. Bapak terbatuk. Sepertinya bapak
sengaja menyalakan motornya di dalam rumah untuk membangunkanku. Segera aku
berjalan menuju garasi. Aku melihat bapak sangat bersemangat. Dia mengelap
setiap sisi motornya agar terlihat antik. Dia mendengar letupan minyak dari
dapur. Segera bapak berjalan dengan cepat menuju dapur. Aku melihat bapak dari
depan pintu garasi. Mataku masih terasa berat, tapi sudah cukup jelas ketika
melihat bapak sedang sibuk.
“Bantu Bapak menyiapkan sarapan.”
Kata pertama yang terucap dari bapak hari ini. Entah
seperti terhipnotis, tubuhku langsung bergerak menuju dapur.
“Cuci muka dulu,”
Aku berjalan ke wastafel di sebelah bapak. Membasuh muka.
Terlihat dari ujung mataku, dia sedang memotong beberapa sayuran dan daging.
Tangannya terlihat sangat cekatan. Lengan kaosnya sesekali digunakan untuk
membasuh keringat yang hampir menetes. “Biar sayurnya nggak asem.” Gurau bapak
sesekali.
Aku hanya tersenyum kecil, kemudian bergeser mendekati
bapak.
“Jadi, apa yang bisa dibantu, Pak?”
“Tolong garuk punggung Bapak. Punggung Bapak gatal.”
***
Seperti biasa, hari ini bapak mengantarku berangkat ke
sekolah. sesekali Bapak membunyikan klakson kepada tetangga. Bermaksud
menyapanya. Selama beberapa tahun sejak meninggalnya ibu, bapak jadi semakin
khawatir padaku ketika aku dirumah sendiri. Bapak hanya bisa mengantarku
berangkat sekolah sebagai bentuk perhatiannya. Pekerjaan bapak sebagai
kontraktor memaksanya meninggalkanku selama beberapa jam. Motor bapak berhenti
tepat di depan gerbang. Aku turun dan melepas helm.
“Jadi, jam berapa Bapak menghadiri acaramu?” tangan bapak
mencoba membantu melepaskan helmku.
“Jam 11, Pak.”
“Iya Bapak sudah tau.”
Tanpa berpamitan, bapak langsung pergi. Sekitar 100
meter, bapak mengangkat tangan kirinya. Mengacungkan jempol kecilnya padaku.
Bapak pernah bercerita padaku jika jempolnya sebenarnya tidak sekecil itu.
Ketika dia bekerja di kontraktor, dia sempat tertimpa besi berkarat. Seluruh
jarinya terinfeksi, dan memaksa dokter harus mengamputasi jari bapak.
Menyisakan kedua jempol di tangannya.
***
Aku masih terduduk di sebelah ranjang bapak. Memegangi
jempol bapak. Hanya jempol bapak yang masih tersisa di kedua tangannya. Kedelapan
jarinya terpaksa di amputasi karena tertindih besi yang jatuh saat mengerjakan
proyek bangunan. Kejadian yang sudah hampir 7 tahun berlalu. Namun, dampaknya
masih terasa hingga sekarang. Bapak sudah tidak sadarkan diri. Bapak telah
didiagnosa dokter menderita tumor di otak dan tangan. Tumor yang berada di otak
diakibatkan oleh tumor yang ada di tangan yang sudah menjalar ke seluruh tubuh.
Tumor di tangan baru diketahui dokter bersamaan dengan turunnya kondisi bapak
akibat tumor di otaknya. Dokter menduga proses amputasi yang kurang steril
mengakibatkan tumor muncul secara perlahan. Aku tidak bisa menghindar dari
kondisi yang sudah terjadi.
“Kamu nggak pergi ke kampus? Ini kan hari wisudamu?”
Suara bibi muncul dari depan pintu yang terbuka. Dia masuk tanpa mengetuk
pintu.
“Sebentar, Bi.”
“Sudah, biar Bibi yang jaga Bapakmu. Cepat berangkat.”
Aku mencium tangan bapak, mengambil tas di bawah
ranjangnya, dan berangkat.
***
Barisan mahasiswa dengan pakaian hitam dan toga di kepala
terlihat mengantri masuk ke dalam auditorium. Di dalam auditorium, mereka
mencari tempat duduk mereka sesuai urutan IPK. Di sisi kiri dan kanan tempat
duduk kami terdapat tribun yang hampir seluruh tempat duduknya telah terisi
oleh orang tua para mahasiswa. Aku berjalan di tengah-tengah kursi calon
wisudawan, menuju kursi paling depan. Aku menduduki kursi dengan label namaku di
atasnya. Beberapa menit kemudian, seluruh Senat dan Rektor memasuki auditorium.
Mereka duduk di kursi yang diatur bershaf di atas podium. Acara dimulai.
Serangkaian acara telah
dilaksanakan dan sampai pada acara inti. Ponselku bergetar. Aku berusaha
mengeluarkannya dari dalam saku celana. Terlihat notifikasi panggilan dari
bibi. Karena acara masih berlangsung, aku memutuskan untuk menutup panggilannya
dan mengirimkan pesan sebagai gantinya. Beberapa saat kemudian, bibi membalas
pesanku.
Bapakmu meninggal, Nak.
Membaca pesan dari bibi,
membuat napasku tidak beraturan. Setengah tidak percaya, aku memasukkan kembali
ponselku ke dalam saku. Bibirku bergetar. Aku mengelap mata sebelum air mataku
jatuh. Bapak, yang menyiapkan sarapan untukku. Bapak, dengan motor antik yang
selalu dirawatnya untuk mengantarku sampai di sekolah. Bapak, dengan senyum
tulusnya merawatku walau hanya dengan ibu jari di tangannya. Bapak, dengan
candaan yang tidak lucu. Aku tidak akan pernah mendengar bapak berkata ‘Bantu
Bapak menyiapkan sarapan’ lagi. Aku tidak akan pernah melihat senyum lebarnya
lagi.
“Wisudawan terbaik, atas nama
Muhammad Rofiq, dipersilahkan maju ke depan.”
Riuh tepuk tangan memenuhi
auditorium. Aku menarik napas, lalu berdiri. Aku mencoba menutupi kesedihan
dengan tersenyum lebar. Dengan rasa bangga memiliki orang tua seperti bapak,
aku melangkah maju ke atas podium. Jika bapak ada disini, pasti dia akan
mengacungkan jempolnya padaku. Aku rindu ibu jarimu, bapak.
Contoh Cerpen Keluarga - Ibu Jari Bapak
Reviewed by dandy
on
Friday, April 12, 2019
Rating:
No comments: