Recents in Beach

Recent in Sports

3/Sports/post-list

Contoh Cerpen Keluarga - Luput Tuli



Jam digital pada dinding sudah menunjukkan pukul 7 malam. Sepertinya masih lama untuknya datang kesini. Mataku kembali tertuju pada segala aktivitas di sini. Dua barista di belakang mesin espresso sibuk dengan keahliannya membuat kopi. Seorang wanita dengan mesin kasir tua di depannya menghitung uang kembalian pembayar. Sampai para pelanggan yang sibuk dengan perbincangan mereka. Grup akustik yang membawakan lagu “Don’t Look Back In Anger” menyelinap di antara keramaian. Rasanya aku sudah mulai bosan. Kutaruh kepalaku di atas meja. Tertunduk mengantuk.
“Hei, sayang, udah lama ya? Maaf, ya, jalan di depan TMP rame banget. Jadi macet.” Suaranya muncul tak terduga. Membuatku terduduk tegak.
“Makasih buat satu jamnya yang bikin aku hampir ngabisin 5 gelas kopi biar nggak ngantuk.”
“Kenapa ya cowok itu kalo lagi marah jadi kelihatan tambah lucu.” Dia tertawa kecil.
“Bodo amat.”
“Hehe. Jadi ada apa kok kamu mendadak minta aku datang kesini?”
“Tuh, kan, gara-gara kamu baterai laptopku dayanya abis.”
“Memangnya kamu mau ngasih tau apa?”
Sembari aku mengambil charger laptop, “Aku ada kabar baik sekaligus kabar buruk. Jadi kamu mau yang mana?”
“Semua orang juga maunya dengar kabar yang baik saja.”
“Tapi kamu harus tau semuanya.” Aku tancapkan charger ke stopkontak di bawah meja.
“Ya sudah, terserah kamu mau ngasih kabar yang mana dulu.”
“Oke, aku mulai dari kabar baiknya dulu.” Sambil menekan tombol power.
“Sebentar. Kenapa harus dari kabar baik dulu?”
“Gitu ya cewek, kalo dikasih pilihan jawabnya terserah. Giliran dipilihin malah protes.”
“Emang ya semua cowok itu sama saja.” Dia tersenyum kecil.
“Kok jadi bawa-bawa jenis kelamin, sih?”
“Udah. Stop. Kamu mulai dari kabar baiknya dulu.” Dia merubah wajahnya menjadi serius.
“Jadi kabar baiknya adalah,” aku mencari berkas di laptop yang ingin ku tunjukan padanya, “ini dia. Coba kamu baca.”
“Apa ini?” dia mengernyitkan alisnya, menarik laptopku, dan membaca berkasnya.
“Gimana? terkejut, ‘kan?”
“Ini beneran? Wah, selamat ya sayang.”
“Thanks, ya.”
“Senyum dong, jangan malah cemberut.”
“Justru itu masalahnya.”
“Masalah gimana? Bukannya itu yang kamu mau?”
“Memang itu yang aku mau. Tapi aku nggak tau kalo mereka bakalan ngelakuin lebih dari yang aku kira.”
“Memangnya apa yang bakal dilakuin mereka?”
“Mereka akan menghapus data pribadiku, baik pada kartu keluarga maupun kependudukan.”
“Terus?”
“Ya itu tadi.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Dan mereka juga akan memutus semua jalur komunikasiku dengan orang-orang yang kukenal. Termasuk komunikasi sama kamu.”
Matanya tertuju ke arah lain. Kosong. Sepertinya dia sedang melamun. Namun lama-kelamaan matanya berbinar.
“Tapi itu nggak akan lama.” Aku coba menghiburnya.
“Berapa lama?” Sahutnya tegas.
“Hanya,” aku menelan ludah sebelum melanjutkannya, “Mungkin, hanya 5 tahun.”
Dia menarik napas panjang, mengalihkan pandangannya ke arah jendela kedai.
“Jangan khawatir, sayang. Aku nggak akan kemana-mana kok.”
Dia mengusap mata, “Tapi apa yang akan terjadi ke depannya, kita nggak bakalan tau. Aku takut kalo selama 5 tahun ke depan, ketika kamu nggak ada kabar sama sekali, ada orang lain yang bisa membuatku nyaman.”
Aku sadar dia baru saja mengucapkan kalimat yang membuatku diam.
“Nggak akan. Kamu nggak akan ngelakuin hal kaya gitu. Aku percaya kalo kamu bisa nunggu aku. 5 tahun itu mudah bagimu.” Aku coba menghibur diri.
“Iya. Aku bakal usahain.” Dia kembali tersenyum pahit. Matanya masih berbinar.
“Oh, iya. Mereka akan mulai penghapusannya malam ini.”
“Kenapa sih nggak minggu depan saja gitu?” jawabnya kesal.
“Memangnya ini lembaga punya bapakmu?” balasku sedikit menghiburnya.
Dia tersenyum lepas. Memukul pundakku.
“Gimana kalo kita keluar, terus jalan-jalan ke TMP?”
“Ngapain juga ke TMP?”
“Katanya disana rame?”
“Iya memang rame sih. Tapi rame sama orang-orang ziarah.”
“Ya udah kita sambil jalan dulu, yuk?”
Malam ini seperti menjadi malam terakhir bagi kami. Seakan tidak akan pernah bertemu lagi.
***
Sudah hampir 5 tahun aku bekerja pada agensi intelijen negara. Ponsel di tanganku dengan tampilan utama foto kami sengaja kupasang sebagai pengingat jika aku masih punya janji pada diri sendiri untuk mempertahankannya. Penampilanku sekarang sangat berbeda dengan yang ada di foto. Aku hanya berpikir, apa dia masih mengetahui jika ini adalah aku. Hari ini dia melangsungkan pernikahannya. Dan aku takut jika dia mengetahui aku sedang berada di acara pestanya. Sakit pastilah terasa sakit. Lemas apalagi. Namun inilah resiko yang harus kudapat. Aku tidak bisa mengelak. Dan aku tidak menyesal telah mengenalmu. Rin.

Contoh Cerpen Keluarga - Luput Tuli Contoh Cerpen Keluarga - Luput Tuli Reviewed by dandy on Friday, April 12, 2019 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.