Jam digital pada dinding sudah
menunjukkan pukul 7 malam. Sepertinya masih lama untuknya datang kesini. Mataku
kembali tertuju pada segala aktivitas di sini. Dua barista di belakang mesin espresso sibuk dengan keahliannya
membuat kopi. Seorang wanita dengan mesin kasir tua di depannya menghitung uang
kembalian pembayar. Sampai para pelanggan yang sibuk dengan perbincangan
mereka. Grup akustik yang membawakan lagu “Don’t Look Back In Anger” menyelinap
di antara keramaian. Rasanya aku sudah mulai bosan. Kutaruh kepalaku di atas
meja. Tertunduk mengantuk.
“Hei, sayang, udah lama ya? Maaf,
ya, jalan di depan TMP rame banget. Jadi macet.” Suaranya muncul tak terduga.
Membuatku terduduk tegak.
“Makasih buat satu jamnya yang
bikin aku hampir ngabisin 5 gelas kopi biar nggak ngantuk.”
“Kenapa ya cowok itu kalo lagi
marah jadi kelihatan tambah lucu.” Dia tertawa kecil.
“Bodo amat.”
“Hehe. Jadi ada apa kok kamu
mendadak minta aku datang kesini?”
“Tuh, kan, gara-gara kamu baterai
laptopku dayanya abis.”
“Memangnya kamu mau ngasih tau
apa?”
Sembari aku mengambil charger laptop, “Aku ada kabar baik
sekaligus kabar buruk. Jadi kamu mau yang mana?”
“Semua orang juga maunya dengar
kabar yang baik saja.”
“Tapi kamu harus tau semuanya.” Aku
tancapkan charger ke stopkontak di
bawah meja.
“Ya sudah, terserah kamu mau ngasih
kabar yang mana dulu.”
“Oke, aku mulai dari kabar baiknya
dulu.” Sambil menekan tombol power.
“Sebentar. Kenapa harus dari kabar
baik dulu?”
“Gitu ya cewek, kalo dikasih
pilihan jawabnya terserah. Giliran dipilihin malah protes.”
“Emang ya semua cowok itu sama
saja.” Dia tersenyum kecil.
“Kok jadi bawa-bawa jenis kelamin,
sih?”
“Udah. Stop. Kamu mulai dari kabar
baiknya dulu.” Dia merubah wajahnya menjadi serius.
“Jadi kabar baiknya adalah,” aku mencari
berkas di laptop yang ingin ku tunjukan padanya, “ini dia. Coba kamu baca.”
“Apa ini?” dia mengernyitkan
alisnya, menarik laptopku, dan membaca berkasnya.
“Gimana? terkejut, ‘kan?”
“Ini beneran? Wah, selamat ya
sayang.”
“Thanks, ya.”
“Senyum dong, jangan malah
cemberut.”
“Justru itu masalahnya.”
“Masalah gimana? Bukannya itu yang
kamu mau?”
“Memang itu yang aku mau. Tapi aku
nggak tau kalo mereka bakalan ngelakuin lebih dari yang aku kira.”
“Memangnya apa yang bakal dilakuin
mereka?”
“Mereka akan menghapus data
pribadiku, baik pada kartu keluarga maupun kependudukan.”
“Terus?”
“Ya itu tadi.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Dan mereka juga akan memutus semua
jalur komunikasiku dengan orang-orang yang kukenal. Termasuk komunikasi sama kamu.”
Matanya tertuju ke arah lain.
Kosong. Sepertinya dia sedang melamun. Namun lama-kelamaan matanya berbinar.
“Tapi itu nggak akan lama.” Aku
coba menghiburnya.
“Berapa lama?” Sahutnya tegas.
“Hanya,” aku menelan ludah sebelum
melanjutkannya, “Mungkin, hanya 5 tahun.”
Dia menarik napas panjang,
mengalihkan pandangannya ke arah jendela kedai.
“Jangan khawatir, sayang. Aku nggak
akan kemana-mana kok.”
Dia mengusap mata, “Tapi apa yang
akan terjadi ke depannya, kita nggak bakalan tau. Aku takut kalo selama 5 tahun
ke depan, ketika kamu nggak ada kabar sama sekali, ada orang lain yang bisa
membuatku nyaman.”
Aku sadar dia baru saja mengucapkan
kalimat yang membuatku diam.
“Nggak akan. Kamu nggak akan
ngelakuin hal kaya gitu. Aku percaya kalo kamu bisa nunggu aku. 5 tahun itu
mudah bagimu.” Aku coba menghibur diri.
“Iya. Aku bakal usahain.” Dia
kembali tersenyum pahit. Matanya masih berbinar.
“Oh, iya. Mereka akan mulai
penghapusannya malam ini.”
“Kenapa sih nggak minggu depan saja
gitu?” jawabnya kesal.
“Memangnya ini lembaga punya bapakmu?”
balasku sedikit menghiburnya.
Dia tersenyum lepas. Memukul
pundakku.
“Gimana kalo kita keluar, terus
jalan-jalan ke TMP?”
“Ngapain juga ke TMP?”
“Katanya disana rame?”
“Iya memang rame sih. Tapi rame
sama orang-orang ziarah.”
“Ya udah kita sambil jalan dulu,
yuk?”
Malam ini seperti menjadi malam
terakhir bagi kami. Seakan tidak akan pernah bertemu lagi.
***
Sudah hampir 5 tahun aku bekerja
pada agensi intelijen negara. Ponsel di tanganku dengan tampilan utama foto
kami sengaja kupasang sebagai pengingat jika aku masih punya janji pada diri
sendiri untuk mempertahankannya. Penampilanku sekarang sangat berbeda dengan
yang ada di foto. Aku hanya berpikir, apa dia masih mengetahui jika ini adalah
aku. Hari ini dia melangsungkan pernikahannya. Dan aku takut jika dia
mengetahui aku sedang berada di acara pestanya. Sakit pastilah terasa sakit.
Lemas apalagi. Namun inilah resiko yang harus kudapat. Aku tidak bisa mengelak.
Dan aku tidak menyesal telah mengenalmu. Rin.
Contoh Cerpen Keluarga - Luput Tuli
Reviewed by dandy
on
Friday, April 12, 2019
Rating:
No comments: