Haii sobat Pen, sudah lama saya tidak update di blog ini. Jadi kangen, hehehe...
jadi, kali ini saya mau update seputar karya sastra yang baru kemarin saya ikutkan ke perlombaan Nasional. Tapi gagal. wkwk. jadi daripada cuma dewan juri yang bisa baca karyaku, lebih baik saya posting disini, biar orang lain bisa baca. So, Let's Enjoy!!
RIRIS
“Lihat, malam ini langit kelabu. Pasti dia
sedang bersedih.” Ucapnya lirih.
Air
sungai yang mengalir tenang menambah hangat suasana. Tatapannya kepada langit
seolah memanggil mereka untuk segera turun. Membuatku semakin yakin dengan hal
itu. Mendadak tetes demi tetes air berjatuhan menghujani wajahnya. Dia
mengisyaratkanku untuk segera berteduh. Saat aku mulai berdiri, perlahan
punggungnya menjauh dari pandanganku. Dia menghilang. Semuanya tiba–tiba
menjadi gelap dan tidak terlihat. Dadaku terasa sesak. Aku mulai sedikit panik.
Aku
terbangun dari tidur.
“Siapa
perempuan tadi?”
***
Sepuluh
menit aku menunggu di taman hutan kota. Minuman dingin yang kubeli mulai
mengembun. Dari jauh terlihat Dinda datang bersama seorang wanita di belakangnya.
“Maaf,
kamu jadi menunggu lama.” Dia tersenyum kuda.
“Tidak
apa-apa.”
“Ini
bukumu,” dia mengambil sesuatu di dalam tasnya, “maaf, lama mengembalikannya.”
“Sebenarnya
buku ini juga sudah kubaca berulang kali. Jadi tidak masalah.”
“Baiklah,”
Dinda menoleh ke belakang, “kenalkan, ini temanku, Nina.”
“Oh,
salam kenal.”
Dia
hanya diam. Aku mencoba mengangkat tanganku dan melambai kecil, namun dia
meresponnya dengan senyuman seraya menganggukkan kepala. Membuatku canggung
menatapnya.
“Oh,
iya, maaf aku lupa.” Dinda mengambil ponsel dan menuliskan sesuatu di dalamnya.
Dia menunjukkan padanya. Wanita itu menggerakkan tangannya dengan berbagai
macam bentuk.
“Namaku
Nina, katanya.” Dinda membantu menerjemahkan.
“Jadi
dia temanmu yang sering kamu ceritakan?”
“Ya,
dia juga ikut komunitas bahasa isyarat, sama sepertiku.”
Dia
kembali membuatku terpesona dengan senyumannya. Aku merasa tidak asing dengan
senyuman itu.
“Hanya
saja aku belum bisa secepat Nina dalam menggunakan bahasa isyarat.” Tambah Dinda.
“Oh,
begitu.”
“Jangan
kaku begitu,” Dinda pergi meninggalkan kami, “aku beli minum sebentar. Kalian
tunggu disana.” Dia mengisyaratkan minum kepada Nina.
Suasana
canggung semakin menguasai keadaan.
***
Seminggu
setelah aku bertemu Nina, kami berdua sering berbincang santai lewat ponsel.
Dinda berkata jika Nina menderita tunarungu. Maka dari itu, aku belajar bahasa
isyarat agar bisa berbicara dengannya. Hari ini pun tiba.
Nanti
jam 7 malam di taman bantaran sungai. Kutunggu.
Sembari
menunggu, aku berulang kali membaca pesan darinya hingga tersenyum sendiri.
Seseorang dari belakang tiba-tiba menepuk punggungku.
“Aoo
...” Suara aneh muncul.
Aku
menoleh, “Nina?!”
Karena
baru pertama kali aku mendengar suaranya, seketika aku meneteskan air mata.
Dengan segera aku menghapusnya.
“Eng
... apa ... angish?” Dia mencoba berbicara dengan menambahkan isyarat dari
tangannya sebagai penjelas.
Aku
mengerti apa yang dia katakan. Dengan sedikit rasa malu, aku memperagakan bahasa
isyarat yang sudah kupelajari.
“Aku
senang bisa bertemu denganmu.”
Dia
terkejut.
Kami menghabiskan malam berdua di bawah
langit. Dia menatap sekumpulan bintang, seakan dia sedang berbicara dengan
mereka. Tiba-tiba ponselku bergetar. Pesan masuk dari Nina.
Kamu
bawa payung?
“Tidak.”
Ku lambaikan telapak tanganku.
“R-I-R-I-S,”
dia mengeja setiap huruf dengan isyarat.
“Riris?”
Dia
menganggukkan kepala. “Akhu ... khenang ....”
“Kenapa?”
Kedua tanganku menengadah.
Dia
hanya tersenyum dan mengakhiri pembicaraan. Dia beranjak pergi dari tempat kami
menikmati malam yang tiba-tiba gerimis. Lambaian tangannya seolah berkata sampai
jumpa padaku.
***
Pertanyaan
kami berdua sejak beberapa hari yang lalu mungkin akan terjawab hari ini. Dinda
mengajakku ke rumah Nina.
“Aku
benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.” Dinda menggerutu.
“Kalian
temannya Riris, ya?” Sapa seorang wanita yang tiba-tiba keluar dari rumah Nina.
“Ini
rumahnya siapa, Din?” Tanyaku.
“Jelas
ini rumah Nina, lah.”
“Nak
Dinda?” Tanya wanita yang masih
misterius tersebut.
“I
... iya, Bu.”
“Tolong
ikut Ibu sebentar, Nak.”
Dinda
dan wanita itu masuk ke dalam rumah meninggalkanku sendiri. Tak berselang lama
mereka keluar. Raut wajah Dinda terlihat seperti orang tertekan.
“Terima
kasih, Bu. Kalau begitu kami pamit untuk kesana sekarang.”
Dinda
menarik tanganku, mengajakku pergi dengan segera.
“Kita
kemana, Din?”
“Ke
rumah Nina.”
Rumah
Nina? Katamu itu tadi rumah Nina? Batinku dalam hati. Pertanyaanku terjawab
ketika kami tiba di depan gapura pemakaman umum. Kami berdua mencari tempat
Nina dimakamkan. Dinda menemukannya tepat di tengah-tengah pemakaman. Di ujung
gundukan tanah yang mulai ambles ditutupi bunga-bunga mawar yang sudah tidak
berwarna, tertulis nama Riris.
“Disini.”
Dinda menunjukkannya padaku dengan napas tanya jawab.
“Kamu
yakin, Din? Dari namanya saja kita sudah tau kalau ini bukan makam Nina, ‘kan?”
Dia
memberikan amplop padaku. “Ini dari ibunya Nina yang tadi. Katanya ini untuk
teman laki-lakinya Nina.”
“Kenapa
harus aku?”
“Jangan
bodoh. Selama ini teman laki-laki yang paling dekat hanya kamu.”
Di
depan amplop tertulis nama Riris. Dari semua kejadian ini aku semakin
bertanya-tanya, sebenarnya Riris itu siapa?
“Bukalah.
Kamu akan mengerti semuanya lewat surat itu.”
Hai,
apa kabar? Kuharap kamu tetap sehat.
Maaf
beberapa hari ini tiba-tiba aku menghilang. Pasti kamu mencariku, ya? Hehehe,
aku terlalu percaya diri sekali.
Sebenarnya
banyak sekali hal yang ingin ku sampaikan. Tentang semua yang ku sembunyikan
selama ini, tentang diriku yang tuli, dan tempo hari terakhir kita bertemu.
Sebenarnya aku ingin mengatakan semuanya saat itu. Tapi, untuk bicara saja aku
tidak sanggup. Sudah sejak lama aku mengidap kanker tenggorokan, makanya aku
sulit untuk berbicara. Jangan kaget, ya? Hehehe.
Oh,
iya, aku sangat suka gerimis, loh. Kata ibuku, gerimis adalah hujan yang paling
disenangi orang-orang. Makanya ibuku memberiku nama Riris, yang berarti
gerimis. Tapi harapan ibu tidak sesuai kenyataan, sih. Karena penyakit ini aku
malah dijauhi teman-teman sekolah. Maka dari itu, aku menutupi identitasku agar
tidak ada lagi yang menjauhiku karena penyakit ini. Aku tahu sepertinya ini
terlambat. Tapi mau bagaimana lagi. Aku takut kehilangan orang-orang disekitarku.
Maaf
juga untuk yang satu ini. Sebenarnya sudah sejak lama aku mengenalmu. Bahkan
aku pura-pura mendekati Dinda agar bisa berkenalan denganmu. Tolong sampaikan
permintaan maafku pada Dinda, ya? Hehehe.
Dinda
tersenyum kecil. “Aku sudah curiga dari awal.”
Aku
adalah perempuan yang tidak sengaja bertemu denganmu di bantaran sungai. Perempuan
yang putus asa terhadap diri sendiri. Tentu saja itu karena penyakitku. Aku
tidak punya teman siapapun. Dan tiba-tiba kamu datang. Membuatku dengan cepat
membasuh air mata yang keluar ugal-ugalan. Apa kamu masih ingat dengan benda
ini?
Aku
membuka isi amplop dan menemukan sebuah gantungan kunci bertuliskan Smile
make you alive.
Lucu
sekali ketika orang yang tidak kukenal memberikan benda seperti itu. Tapi
terima kasih. Karena benda itu, aku bisa kembali menikmati kehidupan. Terima
kasih juga, kamu sudah mau menemani di sisa hidupku. Aku sangat menyesal tidak
bisa mengatakannya langsung padamu. Semoga dengan surat ini, aku bisa
menyampaikan perasaanku selama ini. Love you, from Riris Oviana Dewi...
Yoo, jadi gimana karya sastraku? like ya kalo suka, kalo mau komentar juga dipersilakan. Terutama kalo mau share, saya sangat-sangat mengizinkan itu. hehehe. So, Thank you happy Reader.
Contoh Cerpen Cinta
Reviewed by dandy
on
Tuesday, January 14, 2020
Rating:
No comments: